Teenagers' Mental Health through Covid-19 Pandemic

Pengertian Sehat Mental

Sehat mental diartikan sebagai kondisi individu yang yang berada dalam keadaan sejahtera, mampu mengenal potensi dirinya, mampu menghadapi tekanan sehari-hari, dan mampu berkontribusi di lingkungan sosialnya (WHO, 2015)

Kesehatan mental merupakan kondisi dimana individu memiliki kesejahteraan yang tampak dari dirinya yang mampu menyadari potensinya sendiri, memiliki kemampuan untuk mengatasi tekanan hidup normal pada berbagai situasi dalam kehidupan, mampu bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya. Mengutip dari jargon yang digunakan oleh WHO, “there is no health without mental health” menandakan bahwa kesehatan mental perlu dipandang sebagai sesuatu yang penting sama seperti kesehatan fisik. Mengenali bahwa kesehatan merupakan kondisi yang seimbang antara diri sendiri, orang lain dan lingkungan membantu masyarakat dan individu memahami bagaimana menjaga dan meningkatkannya (WHO, 2004).


Kesehatan Mental pada Remaja

WHO melaporkan bahwa 450 juta orang di seluruh dunia memiliki gangguan kesehatan mental, dengan prevalensi 20% kejadian terjadi pada anak-anak (O’Reilly, 2015). Dengan angka kejadian yang meningkat setiap tahunnya, memperluas pengetahuan terkait kesehatan mental pada anak dan remaja menjadi hal yang penting. Kesehatan mental anak dan remaja dapat mempengaruhi masa depan dirinya sendiri sebagai individu, dan berdampak pada keluarga hingga masyarakat. Oleh karenanya, kekhawatiran ini berkembang baik untuk institusi kesehatan dan peneliti akademis.

Memahami kesehatan mental pada anak dan remaja artinya perlu memahami juga faktor-faktor apa saja yang dapat membahayakan kesehatan mental (risk factor) dan faktor-faktor apa saja yang dapat melindungi kesehatan mental (protective factor) anak. Risk factor menimbulkan kemungkinan kerentanan dalam diri anak, sedangkan protective factor menimbulkan kemungkinan kekuatan dalam diri anak. Semakin banyak risk factor, maka semakin besar tekanan pada anak. Di sisi lain, semakin banyak protective factor, maka besar kemungkinan anak untuk dapat terhindar dari gangguan. Risk factor merupakan faktor yang dapat memunculkan kerentanan terhadap distress. Artinya, ketidakmampuan menyesuaikan diri dapat dikarenakan adanya kondisi-kondisi yang menekan, seperti anak yang tumbuh pada keluarga yang memiliki status ekonomi rendah, tumbuh di lingkungan penuh kekerasan dan adanya pengalaman trauma (Schoon, 2006).

Berbeda dengan masa anak, masa remaja adalah periode permulaan (onset) untuk adanya berbagai perilaku dan kondisi yang memengaruhi kesehatan dan juga dapat menyebabkan gangguan pada masa dewasa. Adanya masa pubertas merupakan salah satu tantangan bagi remaja. Pubertas mengacu pada masa transisi perkembangan yang ditandai dengan perubahan biologis yang mengakibatkan kematangan dari segi fisik dan seksual (Santrock, 2014). Kadar hormon selama masa pubertas dapat mempengaruhi respons stress dalam tubuh dan otak. Faktor lain yang juga penting adalah pengaruh peer (teman sebaya) yang dapat membuat anak perlu mengembangkan kemampuan terkait penyesuaian diri dan regulasi diri. Ketika remaja merasa diterima di lingkungan pertemanannya dan tidak membandingkan diri secara berlebihan, hal ini mampu membuat mereka merasa aman di lingkungan. Mental illness seperti gangguan kepribadian serta emosi banyak dimulai di masa ini. Perilaku-perilaku tidak sehat seperti merokok, minum minuman keras dan penggunaan obat-obatan terlarang sering dimulai pada masa remaja dan berhubungan erat dengan peningkatan masalah hingga kematian yang merupakan tantangan utama dalam kesehatan.

Kesadaran atas pentingnya kesehatan mental saat ini selalu ditanamkan oleh WHO. WHO Child and Adolescent Mental Health Atlas merupakan salah satu upaya sistematis pertama untuk mengumpulkan data dan mendokumentasikan secara objektif layanan global dan pelatihan yang tersedia di seluruh dunia untuk kesehatan mental anak dan remaja (WHO, 2001c).


Kesehatan Mental di Masa Pandemi

Berbicara kaitannya dengan kesehatan jiwa anak dan remaja di masa pandemi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Fidiansjah mengatakan bahwa, selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ada anak yang tak dapat mengakses pembelajaran secara daring (online).

Ia menyebut dari data Wahana Visi Indonedia pada Mei 2020 lalu, mengenai minimnya fasilitas pendukung untuk pembelajaran daring maupun luring (offline). Dimana terdapat 32% anak tidak mendapatkan program belajar daring yang efeknya harus belajar sendiri, sisanya 68% anak memiliki akses tersebut belajar secara daring.

Kemudian, 37% anak tidak bisa mengatur waktu belajar, 30% anak kesulitan pahami pelajaran, dan bahkan 21% anak tidak memahami instruksi guru berdasarkan belajar daring," imbuhnya saat diskusi virtual BNPB dengan tema Status Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja di Masa Pandemi, pada Senin (20/7)

Selain itu data menunjukkan bahwa 47% anak merasa bosan tinggal di rumah, 35% anak merasa khawatir ketinggalan pelajaran, kemudian ada 15% anak merasa tidak aman.

Sementara itu anak merasa takut terkena penyakit termasuk Covid-19 meski sudah ada di rumah sebanyak 34%. Fidiansjah juga menyebut ada 20% anak merindukan teman-temannya, dan 10% anak merasa khawatir tentang penghasilan orang tua dan kekurangan makan.

"Data lain 11% alami kekerasan fisik karena proses belajar yang tidak lazim, dan 62% anak alami kekerasan verbal. Nah dari prototype itu menggambarkan betapa tinggi persoalan jiwa anak dan remaja pada masa pandemi kalau tidak diantisipasi dengan cepat," jelasnya.


Proses Terjadinya Kecemasan dalam Menghadapi Pandemi Covid-19

Pandemi penyakit coronavirus 2019 (COVID-19) mungkin membuat stres banyak orang. Ketakutan dan kecemasan akan penyakit baru dan apa yang mungkin terjadi bisa sangat membebani dan menyebabkan emosi yang kuat pada orang dewasa dan anak-anak. Protokol  kesehatan masyarakat, seperti menjaga jarak fisik, dapat membuat orang merasa terisolasi dan kesepian serta dapat meningkatkan stres dan kecemasan. Namun, tindakan tersebut perlu dilakukan untuk mengurangi penyebaran COVID-19.

Menurut WHO (2019), stres yang muncul selama masa pandemi COVID-19 dapat berupa:

1.      Ketakutan dan kecemasan mengenai kesehatan diri maupun kesehatan orang lain yang disayangi.

2.    Perubahan pola tidur dan/atau pola makan.

3.    Sulit tidur dan konsentrasi.

4.    Memperparah kondisi fisik seseorang yang memang memiliki riwayat penyakit kronis dan/atau gangguan psikologis.

5.    Menggunakan obat-obatan (drugs).

    Pada dasarnya semua gangguan kesehatan mental diawali oleh perasaan cemas (anxiety). Menurut Sadock dkk. (2010) kecemasan adalah respons terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang normal terjadi. Kecemasan diawali dari adanya situasi yang mengancam sebagai suatu stimulus yang berbahaya (stressor). Pada tingkatan tertentu kecemasan dapat menjadikan seseorang lebih waspada (aware) terhadap suatu ancaman, karena jika ancaman tersebut dinilai tidak membahayakan, maka seseorang tidak akan melakukan pertahanan diri (self defence). Sehubungan dengan menghadapi pandemi Covid-19 ini, kecemasan perlu dikelola dengan baik sehingga tetap memberikan awareness namun tidak sampai menimbulkan kepanikan yang berlebihan atau sampai pada gangguan kesehatan kejiwaan yang lebih buruk.

Sumber : Jurnal Kependudukan Indonesia 2020

 

Apa yang Bisa Kita Lakukan Agar Tetap Sehat Mental?

Self-Healing

1. Mindfullness, yaitu suatu kondisi di mana pikiran, perasaan, dan tubuh kita berada pada saat ini, tidak mengembara ke masa lalu maupun masa depan, serta non-judgemental (Kabat-Zinn, 1990).

2. Guided Imagery. Pejamkam mata, lalu bayangkan sesuatu yang menyenangkan, dengan berbagai modalitas seperti visual, auditori, dan kinestetik untuk membantu meningkatkan imajinasi. Meskipun kenyamanan ini bersifat jangka pendek, namun Guided Imagery bisa menjadi pertolongan pertama psikologis dalam menanggulangi kecemasan berlebih.

3. Self-Talking. Bicaralah kepada diri sendiri dengan kalimat positif. Perlu diketahui bahwa emosi cenderung dipengaruhi oleh pikiran kita, yang mana pikiran kita sangat tergantung dari bagaimana kita menafsirkan suatu peristiwa. Penting untuk kita memperbaiki kembali apa yang menjadi isi pikiran, karena pikiran yang positif akan meningkatkan kualitas emosi dan perasaan.

4. Expressive Writing. Refleksikan pikiran dan perasaan yang dialami selama masa pandemi ke dalam bentuk tulisan.

Pendekatan Spiritual

Pahami bahwa ada hal-hal yang dapat kita kendalikan, dan ada hal-hal juga yang tidak dapat kita kendalikan. Pahami juga bahwa ada Dzat yang Maha Kuasa, yang Maha Mengendalikan segala sesuatu. Dengan memahami hal ini, hati kita akan menjadi tenang (dengan catatan: tetap imbangi dengan upaya preventif terbaik)

Meningkatkan spiritualisme bisa diterapkan dengan menulis jurnal kebersyukuran, entah nikmat sehat sampai hari ini, nikmat bekerja dari rumah, atau nikmat kebersamaan dengan keluarga. Sebab tidak semua orang mendapatkan privilese tersebut di masa pandemi ini.

Penting bagi kita untuk tetap bersyukur, meningkatkan kesabaran yang tinggi, berlapang dada seraya tetap melakukan ikhtiar terbaik untuk menjaga diri dan orang lain untuk terhindar dari virus COVID-19

Tetap Terhubung pada Social Support

Meski saat ini kita sedang menerapkan physical distancing, kita harus tetap terhubung dengan sosial melalui media yang tersedia, karena pada dasarnya kita adalah makhluk sosial. Tetap rutin menghubungi keluarga (bagi yang sedang rantau) sekaligus saling mengingatkan satu sama lain untuk taat pada himbauan pemerintah. Bila dirasa dukungan sosial belum mampu menanggulangi kecemasan akibat COVID-19, jangan ragu untuk meminta bantuan profesional

    Beberapa tips lain dalam menjaga kesehatan mental adalah mengurangi menonton, membaca atau mendengarkan berita yang membuat kecemasan meningkat. Carilah informasi dari sumber-sumber terpercaya dan utamakan membuat rencana praktis melindungi diri dan orangorang terdekat. Usahakan mencari berita hanya 1-2 kali dalam satu hari dan pada waktu yang spesifik. Banyaknya terpapar misinfodemik mengakibatkan kesalahan dalam strategi coping yang diambil. Misinfodemik adalah istilah yang digunakan untuk misinformasi yang berkontribusi terhadap penyebaran penyakit dan cukup lazim untuk COVID-19. Mencari informasi terkait menjaga kesehatan mental di masa pandemi di berbagai sumber online juga suatu langkah yang positif (Banerjee, 2020). Pilihlah situs jaringan kesehatan mental yang valid dan terpercaya seperti Kementerian Kesehatan, WHO, biro konsultasi psikologi, atau sumber-sumber yang bersifat keagamaan/religius.

 

Daftar Referensi

http://repository.ubaya.ac.id/35835/1/Kesehatan%20Mental%20Anak%20dan%20Remaja%20-%20Buku%20Ajar-part.pdf

https://kesehatan.kontan.co.id/news/kemenkes-imbau-pentingnya-kesehatan-jiwa-anak-dan-remaja-saat-pandemi-covid-19

https://ejurnal.kependudukan.lipi.go.id/index.php/jki/article/download/550/pdf

https://psikologi.unair.ac.id/wp-content/uploads/2020/05/01-Tetap-Sehat-Mental-selama-Masa-Pandemi-COVID-19.pdf

Komentar